Rabu, 22 Februari 2017

NGALAP BERKAH LELUHUR





SILATURRAHMI PENGURUS MASJID  KE SIMBAH YAI MUNIF MUHAMMAD ZUHRI
SELASA, 21 FEBRUARI 2017 PUKUL 18.30 - 00.00


Pengurus masjid jami' Baitun Nashir periode 2017 - 2022 , memulai aktifitas kepengurusan masjid dengan berziarah ke para leluhur diantaranya mulai dari makam simbah yai Nashir yang terletak di selatan dusun Pucanggading atau biasa masyarakat menyebut Diengsari. berangkat diawali dengan jamaah sholat maghrib di masjid dan dilanjutkan berangkat ke makam simbah Nashir dan simbah yai Romlah, dengan niat pengurus ngalap berkah dari leluhur dhurriyah pendiri masjid.

Jamaah ziarah yang dipimpin langsung oleh beliau Kyai Ibrohim bin KH. Nur Ihsan menjelaskan sebelum memulai doa di makam menjelaskan bahwa simbah Nashir adalah garwo / suami dari bu nyai Romlah binti KH Muhammad Hadi girikusumo, simbah KH Muhammad Hadi girikusumo inilah yang mendirikan Masjid di kampung Pucanggading. 

selesai dari makam simbah yai Nashir rombongan jamaah yang berjumlah 28 orang dengan empat 4 armada mobil dari beberapa pengurus langsung menuju ke Girikusumo Mranggen Demak, di awali dengan Jamaah sholat Isya di Masjid Agung Girikusumo yang di Imami oleh Kyai Ibrohim, selesai jamaah isya langsung menuju makam kasepuhan girikusumo.

turun dari makam kyai Ibrohim  sowan ke simbah yai Munif Muhammad Zuhri beberapa menit yang kebetulan ada di masjid makam dan mengutarakan maksud dan tujuan sowan bersama kepengurusan masjid yang baru, sebentar rombongan langsung meneruskan perjalanan menuju ke makam simbah yai Muhammad Shodiq atau mbah jago.





selesai dari makam mbah jago jamaah langsung menuju ke  kadilangu demak rombongan jamaah langsung menuju ke makam kanjeng sunan kali jogo. dan selesai dari kadilangu demak jamaah langsung pulang kampung kembali ke masjid.













Selasa, 16 Juli 2013

Syeikh K.H Muslih Abdurrahman

Syeikh K.H Muslih Abdurrahman
Syeikh K.H Muslih Abdurrahman
 11.50  Achmad Fahrizal Zulfani Al Hanif 

Perintis Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh Al-Mu’tabaroh di Indonesia
 Syeikh K.H Muslih Abdurrahman adalah ulama allamah yang pernah mengasuh pon-pes Futuhiyyah Mranggen sejak tahun 1936-1981 Masehi. Beliau sangat berjasa dalam mengembangkan dan membesarkan pon-pes Futuhiyyah Mranggen brkat fodlol dan rahmat Allah s.w.t hingga dapat melahirkan banyak kiai dan ulama yang terbesar di Jawa khususnya di Indonesia umumnya.
 Dan Beliau berjasa pula dalam menyebarkan thoriqoh Qodiriyyah wa Naqsyabandiyyah di Jawa / Indonesia, hingga melahirkan banyak Kiai dan Guru Mursyid Thoroqoh tersebut. Disamping berjasa sebagai salah seorang pendiri dan salah seorang Ro’is Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh Al-Mu’tabaroh di Indonesia yang di kenal sekarang dengan jam’iyyah ahlith Thoriqoh Nahdriyyah itu beliau juga ikut aktif mengembangkan dan membesarkan Jam’iyyah tersebut hingga akhir hayat pada tahun 1981 Masehi.

 Oleh karena itu beliau dapat disebut sebagai Abul Masyayekh dan Syeikhul Mursyidin. Ghofarollohu wa Rohimah wa Qoddasallohu Asroroh wa yamidduna bi asrorihi wa barokati wa ulumihi wa karomatihi wa maunatihi wa syafa’atihi wa jami’i ahli silsilatihim wa usuluhim wa yulhiquna bihim fi khoirin wa sa’adatin wa salamah. Allahumma amiin.

 Beliau berjasa pula dalam mengusir penjajah Belanda dan Jepang, baik anggota lasyikar hizbulloh yang berlatih kemiliteran bersama Syeikh K.H Abdulloh Abbas Buntet Cirebon dalam satu regu di Bekasi Jawa Barat dan menjadi komando pasukan sabilillah yang beranggotakan para kiai/ulama’ di wilayah Demak selatan atau front Semarang wilayah Tenggara.
 Beliau wafat dan di makamkan di ma’la Makkah al Mukarromah di pemakaman yang kebetulan berdampingan dengan makam Sayyidatina Asma’ binti Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a, dekat/di depan kompleks makam Sayyidatina Khodijah r.a, istri Rosulillah s.a.w. Jama’ah haji Indonesia dari Mranggen dan Demak banyak yang ziarah kepada beliau dengan bantuan mukimin setempat.
 Beliau wafat pada bulan syawal 1981 Masehi, dengan mewariskan pon-pes Futuhiyyah yang besar untuk di lestarikan dan di kembangkan lebih lanjut. Dan Al-hamdulillah pon-pes Futuhiyyah Mranggen tetap lestari dan berkembang hingga saat ini. Semoga demikian seterusnya hingga akhir masa.Allahumma amiin.
 I. Identitas Diri dan Keluarga

 Syeikh K.H Muslih bin Syeikh K.H Abdurrohman dan Hj. Shofiyyah, asli/kelahiran suburan Mranggen Demak,pada tahun 1908 Masehi. Beliau adalah adik kandung dari Syeikh K.H Ustman bin Syeikh K.H Abdurrohman.

 Silsilah Syeikh K.H Muslih

 Dari Ayah :

 Muslih bin Abdurrohman din Qosidil haq bin R. Oyong Abdulloh Muhajir bin Dipo Kusumo bin P.Wiryo Kusumo / P.Sedo Krapyak bin P.Sujatmiko atau Wijil II / Notonegoro II bin P. Agung atau NotoProjo bin P.Sabrang bin P. Ketib bin P. Hadi bin K. S. Kali jogo,hingga Ronggolawe adipati Tuban I atau Syeikh Al-Jali / Syeikh Al-Khowaji, yang berasal dari Baghdad keturunan Saayyidina Abbas r.a paman Rasulullah s.a.w.

 Dari Ibu :

 Muslih bin Shofiyyah binti Abu Mi’roj wa binti Shodiroh hingga bersambung pada ratu Kalinyamat binti Trenggono Sultan Bintoro Demak II bin Sultan Bintoro I / R. Fatah bin R. Kertowijoyo / Darmokusumo Brawijaya I Raja Majapahit.
 Ratu Kalinyamat istri Sultan Hadliri yang berasal dari Aceh dan menjabat sebagai adipati Bintoro Demak di Jepara. Sedangkan istri Sultan Trenggono adalah puteri K. S Kalijogo dan istri Sultan Fatah / Ibu Sultan Trenggono adalah putri K.S Ampel Surabaya, Dzuriyyah Rasulullah s.a.w.

 Syeikh K.H Muslih Abdurrahman menikah dengan Nyai Marfu’ah binti K.H Siroj dan berputra :
 1. Al-Inayah, istri Syeikh K.H. Mahdum Zein.
 2. K.H. M.S. Luthfi Hakim Muslih Bc.Hk sebagai pengasuh utama I pon-pes Futuhiyyah sejak tahun 1971 Masehi.
 3. Faizah, istri Syeikh K.H. Muhammad Ridhwan.
 4. K.H Muhammad Hanif Muslih L.c sebagai pengasuh utama II pon-pes Futuhiyyah sejak tahun 1985 Masehi.
 5. Putra-putra lainnya meninggal sejak kecil.

 Setelah Nyai Marfu’ah wafat tahun 1959 Masehi, Syeikh K.H. Muslih Abdurrohman menikah lagi dengan Nyai Mu’minah Al-Hafidhoh / Al-Hamilah bin K.H. Muhsin ( ayah K.H. Muhibbin Al-Hafid, pengasuh pon-pes Al-Badriyyah Mranggen ) dan berputra :
 1. Qoni’ah istri K.H. Masyhuri, B.A.
 2. Masbahah, istri Syeikh K.H Abdurrahan Badawi / Syeikh Dur.

 Setelah Nyai Mu’minah wafat pada tahun 1964 Masehi, Syeikh K.H Muslim Abdurrahman menikah lagi dengan Nyai. Sa’adah binti H. Mahhmud, Randusari Semarang sampai sekarang beliau masih hidup, semoga thowil umur allah husnil khotimah fi tho’atillah fil alwi wal afiyah wassalamah was sa’adah fi daruun-min fadllillah wa rohmatillah Allahuma amiin.Begitu pula keluarga dan dzuriyyah syeikh K.H muslih, bani Abdurrohman dan para santri dan alumni pon-pes Futuhiyyah Mranggen dan cabang- cabangnya, para muhibbin beliau beliau erikut para pejuang Fi Sabillillah termasuk K.Habdurrahman Wahid (GUS Dur Presiden R.I ) dan keluarga masing-masing. Allahumma amiin.

 II. PENDIDIKANNYA

 Pendidikan Syeikh K.H. Muslih bin Abdurrahman, diperoleh dari :
 1. Belajar pada orang tua sendiri, yaitu Syeikh K.H. Abdurrahman bin Qosidil Haq.
 2. Belajar di pondok pesantren termasuk madrasahnya Syeikh K.H. Ibrohim Yahya Brumbung Mranggen, disamping belajar pula saat pergi Haji bersama beliau.
 3. Belajar di pondok pesantren Mangkang kulon.
 4. Belajar di pondok pesantren Sarag Rembang milik Syeikh K.H. Zuber dan Syeikh Imam, disini beliau sambil belajar / santri kalong kepada Syeikh K.H Maksum, Lasem Rembang.
 5. Belajar-mengajar di pondok pesantren Termas Pacitan.
 6. Belajar ilmu thoriqoh dan bai’at mursyid di banten yaitu Syeikh Abdul Latif Al- Bantani
 7. Belajar kepada Syeikh Yasin Al-Fadani Al- Makky di Mekah.
 8. Belajar ilmu Ekonomi dan dagang.
 9. Belajar ilmu kemiliteran.

 Dari hasil pendidikannya tersebut Syeikgh K.H.Muslih bin Aburrahman termasuk Ulama’ Allamah Ahli ilmu-Kalam Bahasa Arab (Nahwu, Shorof, Balaqhoh, hingga ilmu Mantiq dan Arudh) Ahli Ilmu-Klam /Tauhid., Ahli Ilmu Tasawwuf –Ahli Ilmu Thoriqoh Mu’tabaroh hingga ahli pula dalam Ilmu Kepemimpinan Ilmu Kependidikan, Ilmu Siasah, Ilmu Hikmah Ilmu Jihad fi sabillillah termasuk Ilmu Kemiliteran. Oleh ksrns itu beliau sangat pantas menjadi Guru Mursyid Thoriqoh Qodiriyyah wa Naqsyabandiyyah Bahkan menjadi Syeikhul Mursidin atau guru para mursyid, sebab beliau telah memenuhi peryaratan sebagai guru Guru Mursyid sebagai mana yang dianjurkan oleh syyaidina Syeikh Abdul Qodir Al –Jaelani, r.a, yang mana seorang mursyid itu seharusnya :
 1. Memiliki Ilmu Ulam’ ( Ahli Agama Islam )
 2. Memiliki Ilmu Siasah ( Politik Pemerintahan ).
 3. Memiliki Ilmu Hikmah ( Kebijaksanaan Ahli Hukum Islam ).
 Syeikh K.H. Muslih teryata belajar dan mengajar sebagaimana tersebut dalam manaqib As-Syeikh Abdul Qodir Al-Jaelani r.a, yaitu Tafsir dan ilmu Tafsirnya, Hadist dan ilmu Muthola’ah Hadistnya ilmu fiqh dan Hilafayahnya, ilmu Usuluddin ( ilmu kalam ) dan ilmu Ushulul Fiqh, ilmu Qiro’ah / Tawid, ilmu Nahwu, ilmu Shorof, ilmu Ma’ani, ilmu Bayan Badi’, ilmu arudl, ilmu Qowafi, ilmu Matiq dan ilmu tasawwuf / ilmu Thoriqoh. Ilmu – ilmu tersebut semuanya diajarkan di pon-pes madrasah, kecuali ilmuthoriqoh / ilmu Tasawwuf. Disamping ilmu-ilmu tersebut Syeikh K.H. Muslih Abdurrohman diwaktu mudanya juga rajin belajar ilmu-ilmu kanuragan dan ketabitan Islamy maupun do’a-do’a / aurrod yang khusus, tersasuk aurod khusus untuk memdapatkan Ilmu yang bermanfa’at lagi barokah. Ilmu yang manfa’at ialah ilmu yang dapat diamalkan sendiri ( dirinya dapat beribadah billah sesuai dengan ilmu yang diperolahnya, sebab fadlol dan rhmat Allah s.w.t ). Sedang ilmu yang barokah ialah ilmu yang sudah dapat ditularkan kepada orang lain, baik melalui pendidikan dan pengajaran maupun nasehat, baik secara langsung maupun tidak langsung ( melalui tulisan dalam buku / kitab yang disusun, digandakan dan dibaca oleh orang lain ). Selain belajar ilmu-ilmu tersebut beliau sempat belajar bagaimana cara mengajar yang baik ( guru yang berhasil ) dan bagaimana menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran sistem klasikal ( madrasah ) saat beliau mondok di Termas, Pacitan. Sebelum beliau di Termas, sepulang dari pondok Sarang beliau bersama kakaknya, yaitu Syeikh K.H. Utsman bin Abdurrohman sempat belajar dagang pakaian jadi di pasar Mranggen,selama satu tahun, atas perintah orang tuanya agar merasakan bagaimana susahnya orang bekerja mencari rejeki ( dalam setahun kerja, teryata tidak laba dan tidak rugi ) setelah itu beliau berangkat ke Terma memenuhi perintah Syeikh K. H. Maksum Lalem sekalian ingin menambah ilmu dan pengalaman.
 III. PERJUANGAN
 Syeikh K.H. Muslih Abdurrohman selain berjuangan demi terwujudnya suatu pribadi yang baik serta menjadi ulama pejuang islami, ternyata beliau juga berjuang fisabilillah di sisi yang lain, yaitu :
 1. Menjadi pengasuh pendidikan pesantren, termasuk Pengajian dan Bai’at Thoriqoh Qodiriyyah wa Naqsyabandiyyah .
 2. Mendirikan / menyelenggarakan Pendidikan Masdrasah/ Sekolah Futuhiyyah
 3. Menjadi Pengasuh Utama Pon-Pes Futuhiyyah
 4. Memperluas lokasi / Areal Pondok Pesantren
 5. Merehab dan membangun Prasarana Pondok Pesantren, termasuk membangun Masjid An-Nur dikonplek Pon-Pes Futuhiyyah.
 6. Menjadi Anggota Pengurus G.P Ansor Mranggen dan Lasykar Hizbullah Mranggen
 7. Menjadi Pengurus Jam’iyyah N.U
 8. Menjadi Komandan Barisan Sabilillah, sektor Semarang Timur.
 9. Ikut Mendirikan dan menjadi pengurus Jam’iyyah Thoriqoh Mu’tabaroh Indonesia.
 10. Mendirikan dan menjadi Pengurus Jam’iyyah Thoriqoh Nahdiyyah
 11. Mendirikan Madrasah Aliyah Persiapan F.H.I UNNU Mranggen
 12. Mendirikan F.H.I UNNU Fikal Surakarta di Mranggen
 13. Mendirikan atau menyelenggarakan Madrasah dan Sekolah Formal.

 IV. MENJADI PENGASUH PON-PES FUTUHIYYAH
 Sebelum Syeikh K.H. Muslih mondok kembali di Pondok Pesantren Termas, beliau sempat mukim dirumah yaitu Suburan Mranggen kira-kira pada tahun 1931 Masehi selama satu tahun, setelah kembali dari mondok di Pondok Pesantren Sarang.

 Pondok Pesantren yang telah direhabilitasi pada tahun 1927 Masehi, atas perintah Syeikh K.H. Abdurrohman, telah berhasil menampung puluhan santri, namun aktifitas Madrasah tersebut menjadi berhenti, setelah diminta oleh N.U cabang Mranggen .
 Akhirnya Syeikh K.H. Muslih berusaha mendirikan kembali Madrasah Diniyyah Awaliyyah Futuhiyyah di konplek Pon-Pes Futuhiyyah dengan tikat tidak boleh diminta oleh N.U lagi. Jika N.U ingin mengelola Madrasah lagi supaya mendirikan sendiri.
 Selang beberapa waktu, Pon-Pes Futuhiyyah mendirikan Madrasah dua kali pada tahun 1927 dan 1929 Masehi. Selama dua kali mendirikan, dua kali pula diminta oleh N.U. Cabang Mranggen dengan cara Bedol Madrasah, Murid dan Gurunya di pindah tempat, yang kemudian dikelola oleh N.U Cabang Mranggen dan dua Kali pula terhenti.

 Setelah Madrasah yang didirikan oleh Syeikh K.H. Muslih berjalan lancar, satu tahun kemudian diserahkan oleh adik beliau, yaitu Syeikh K.H. Murodi setelah mukim kembali dari mondok di Lasem dan para gurunya, dengan pesan agar tak boleh dipindah lagi, karena beliau akan Mondok lagi ke Termas.
 N.U. cabang Mranggen, akhirnya mendirikan sendiri Madrasah Diniyyah Awaliyyah dan dapat hidup hingga sekarang, di Kauman Mranggen, yang dikenal kemudian dengan nama Madrasah Ishlahiyyah.

 Syeikh K.H. Muslih saat datang di Termas, langsung diminta oleh Syeikh K.H. Ali Maksum (Krapyak Yogya), selaku kepala Madrasah di Termas saat itu, untuk mengajar kelas di ajar oleh Syeikh K.H. Ali Maksum (kelas Alfiyyah Ibnu Malik). Semula Syeikh K.H. Muslih menolak, dengan alasan belum mampu mengajar Alfiyyah. Beliau tetap dipaksa dan dibujuk dengan kata-kata nanti saya ajari oleh Syeikh K.H. Ali Maksum. Setelah itu, Beliau akhirnya bersedia. Namun Ternyata Syeikh K.H. Ali Maksum hanya sekali mengajar Syeikh K.H. Muslih sebagai persiapan mengajar Alfiyyah, yaitu pada malam sebelum esok harinya mengajar, laalu beliau menghilang.

 Dengan berat hati Syeikh K. H. Muslih mengajar dikelas yang ditinggalkan Syeikh K.H . Ali Maksum. Dan kira-kira setengah bulan kemudian, Syeikh K.H. Ali Maksum Baru muncul dan bertanya kepada murid – murid kelas tersebut, bagaimana hasil kerja Ustadt baru, murid-murid menjawab baik dan puas, setelah itu Syeikh K.H. Muslih di tetapkan guru kelas tersebut.

 Suka duka Syeikh K.H. Muslih tidak menghalangi untuk berenovasi menjadi guru yang baik dan ini terbukti saat dimana santri-santri senior yang ada di Termas tidak disuruh mengajar, justru santri barunya yang disuruh mengajar, yaitu Syeikh K.H. Muslih, maka oleh santri-santri senior tersebut, kursi tempat duduknya di rawe ( diberi bulu buah rawe agar gatal-gatal, hingga tidak jadi mengajar ). Dengan berbekal Ilmu yang lebih luas dan pengalaman selama menjadi guru madrasah Tsanawiyyah di Termas itulah akhirnya Syeikh K.H. Muslih pulang dan mukim kembali di Suburan Mranggen kira-kira pada tahun 1935 Masehi, dengan tekad akan mengembangkan pondok pesantren Futuhiyyah Suburan Mranggen. Dan Al-Hamdulillah pada tahun 1936 Masehi berdirilah Madrasah Ibtida’iyyah yang bukan M.I, karana pelajarannya sudah setingkat dengan Madrasah Wustho dan Madrasah Tsanawiyyah yang diselenggarakan pada pagi hari.

 Mengenai bagaimana tekhnis pengumuman P.M.B yang dilakukan saat itu, sementara saat itu tidak ada radio, tidak ada stensil, tidak ada mesin tulis apalagi fotocopy, tetapi yang jelas, madrasah tersebut penuh dengan murid dan pondoknya semakin banyak jenis santri mukimnya, baik yang berasal dari desa-desa wilayah kecamatan Mranggen dan sekitarnya hingga Gubug-Purwodadi, hal ini terjadi karena tersiarnya berita bahwa di pondok Suburan Mranggen telah muncul Kiai yang alim.

 Sesudah tahun 1950 Masehi pon-pes Futuhiyyah semakin berkembang santri mukimnya semakin bertambah ( antara 300 – 400 orang ), di samping santri lajo yang masih belajar di madrasah maupun sambil mengaji wetinan, berikut datangnya santri pengajian thoriqoh yang dibuka mulai tahun 1950 Masehi. Adapun penyebabnya adalah bervariatif, mungkin Syeikh K.H. Muslih dikenal sebagai Kiai yang enak ngajinya, atau karena adanya aktivitas da’wah dari para mubalighin, termasuk Syeikh K.H. Abdul Hadi yang malang melintang berda’wah seantero Jawa Tengah,dan sebagainya.

 Singkatnya, apa yang telah terwujud itu adalah fadlol dan rohmat Allah s.w.t. yang harus diyakini berkat syafa’at ahli silsilah Ilmu Islami aurod mujahadah dan riyadloh, termasuk dzikir thoriqoh, khususnya Syeikh K.H. Ibrohim. Yahya Brumbung, Syeikh K.H. Abdurrohman wa ushulih, Syeikh K.H. Hadi Giri Kusumo, Syeikh Abu Mi’roj Sapen, serta para auliya’-syuhada’ tanah Jawa hingga Walisembilan dan K.S. Fatah beserta pengikutnya, Syeikh Abdul Qodir Al0Jaelani r.a dan ahli silsilahnya hingga Rasulullah s.a.w.

 Syeikh K.H. Muslih Abdurrohman selaku pimpinan / pengasuh pon-pes Futuhiyyah harus berjuang pula mencukupi kebutuhan Prasarana dan Sarana pondok pesanten termasuk keperluan dalam menyelenggarakan madrasah, seiring pribadi beliau menggerakkan pulapartisipasi aktif dalam pembangunan pondok pesantren futuhiyyah baik dari santrinya, para wali santri maupun masyarakat baik dalam bentuk sumbangan tenaga, material maupun uang. Adapun sumber – sumber yang lain berasal dari sumbangan pemerintah.

 Pada masa hidup beliau, partisipasi santri besar sekali dalam pembangunan pondok pesantren Futuhiyyah, sebagai pengalaman ilmu, ikut andil dalam jariyyah, bersatu dan bergotong royng secara ikhlas merealisasi program pembangunan sekaligus nyadong berkah dari Allah s.w.t. Untuk keperluan hidupnya di dunia dan akhirat kelak.

 Sumber: http://pondoktremas.com/new/index.php?option=com_content&view=article&id=190:syeikh-kh-muslih-abdurrahman&catid=58:profil-alumni&Itemid=126

Silsilah Mbah Hadi Girikusumo


Masjid Al-Mansyur - Popongan, Tegalgondo, Wonosari, Klaten, Jawa Tengah

Masjid Al-Mansyur - Popongan

Amanat Mbah Hadi, Petuah Sunan Drajat

Elinga Ngger, yen ana ula

aja kok penthung

 ana pitik jago aja kokjunjung

 ana wong ala aja koktundhung

 ana wong apik aja kokgunggung

PETUAH Sunan Drajat itu senantiasa mengiang di telinga KHM Munif Zuhri (Gus Munif), pengasuh Pesantren Girikusumo, Mranggen, Demak. Bahwa kualitas manusia tidak bisa diukur hanya dari tampilan luarnya. Mengamini pesan itu, Gus Munif senantiasa menjaga kehati-hatian dalam menerima para tamu, yang nyaris setiap hari membanjiri rumahnya.

 ''Intinya, janma tan kinira. Manusia itu makhluk yang tidak bisa diduga. Ada orang yang kita duga jelek, padahal sebetulnya baik. Sebaliknya, ada orang yang dalam anggapan kita baik, sesungguhnya amat jahat. Urip iku ora mesthi, dadine kudu ngati-ati,'' papar Gus Munif, saat Suara Merdeka bertandang ke kediamannya, Senin (11/4) siang.

 Falsafah janma tan kinira agaknya tepat dialamatkan ke pesantren warisan Ki Ageng Giri atau dikenal dengan sebutan Mbah Hadi itu. Pesantren yang terletak amat jauh dari pusat kota itu merupakan salah satu noktah penting dalam percaturan politik Indonesia.

Betapa tidak, pesantren itu acap menjadi rujukan para politikus. Semasa menjadi presiden, KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur tak sungkan blusukan ke pesantren yang terletak di Desa Banyumeneng, Kecamatan Mranggen, Demak itu. Begitu pula sehari sebelum pemilihan presiden putaran kedua, Jusuf Kalla pun menyempatkan diri menyambangi Gus Munif.

 ''Tapi setelah terpilih jadi wakil presiden ya sudah, lupa,'' seloroh kiai karismatik itu.

Ya, dari jantung Kota Semarang, Pesantren Girikusumo berjarak sekitar 20 km ke arah timur, atau hampir sejam jika ditempuh dengan kendaraan. Itu pun belum cukup. Dari Pasar Mranggen, masih ada jalan berkelok-kelok sepanjang 10 km ke arah selatan. Pada sepanjang jalan, yang terlihat di kanan kiri hanyalah gerumbul tanaman pisang dan jahe yang dibudidayakan penduduk setempat. Biasanya jalan kecil itu tak terlampau bagus. Tapi menjelang pembukaan Muktamar PKB, tampaknya pemkab setempat melakukan sejumlah perbaikan.

 Begitu juga kalau hanya dilihat secara fisik, tak terlampau kentara keistimewaan Girikusumo. Sepintas, kesan arsitektur pada bangunan Pesantren Girikusumo mengingatkan orang pada salah satu sudut keraton di Jawa atau Masjid Agung Demak. Pada beberapa sisinya terlihat kuna, dan lazim ditemui di bangunan keraton. Baik tempat tinggal maupun masjid di pesantren itu dilengkapi mustaka, seperti yang terdapat pada masjid tradisional Jawa.

Sederhana

Kesan tradisional itu lebih kentara lantaran dinding bangunan masih terbuat dari papan. Tetapi bahan bakunya bukan berasal dari kayu jati, melainkan sengon laut. Pesantren amanat Mbah Hadi itu memang begitu sederhana. Kesan itu juga terlihat pada puluhan santri bersarung dan berkopiah yang sore itu menunaikan shalat asar. Sama sederhananya dengan penampilan ibu-ibu yang mondok selama 10 hari, untuk mengikuti pengajian Thariqah Naqsabandiyah Khalidiyah asuhan Gus Munif. Atau, coba alihkan pandangan ke sekeliling pemondokan santri, yang dipenuhi baju-baju bergegantungan. Khas sebuah pesantren tradisional.

Tapi, janma tan kinira, di pesantren itulah setiap Kamis berkumpul 10.000-an jamaah untuk mengikuti pengajian thariqah yang diasuh Gus Munif. Pengajian Kamis Kliwon ditujukan untuk jamaah laki-laki, dan Kamis Legi untuk perempuan. Menariknya, setiap peserta pengajian itu diberi makan dalam bentuk ambengan. Selain itu, nama Gus Munif teramat populer, tidak cuma di Demak dan sekitarnya, tapi juga ke sejumlah daerah di luar Jawa. Pada saat yang sama, pesantren itu juga menjadi salah satu pusat denyut kehidupan NU, rahim yang melahirkan PKB.

 Sebagai organisasi (politik) yang berakar di pesantren, sudah pada galibnya Muktamar PKB dibuka di pesantren. Tapi, mengapa Girikusumo? Tak ada jawaban pasti soal itu. Kiai Munif tak mau menunjukkan alasan di balik pilihan Gus Dur untuk membuka Muktamar PKB di pesantrennya.

 ''Saya gumun, kenapa di sini yang ditunjuk. Wong saya juga bukan orang yang aktif di partai. Ya sudah, anggap saja saya ketamon Gus Dur dan rombongannya, ya disambut apa adanya saja,'' ujarnya merendah. (33t)
sumber : sm Selasa, 12 April 2005

Kekusyukan Haul Mbah Jago


 Kekusyukan Haul Mbah Jago

SYAHADAD ain yang dilafalkan berulang-ulang itu menciptakan ekstase
ribuan orang yang memadati pelataran Masjid Nurul Huda, Dukuh Jago Wringinjajar,
Mranggen Demak, Senin malam.

Pembacaan doa yang dipimpin KH Baqoh Abdul Hamid dari Pondok Pesantren
Budu Kajoran Magelang ini adalah bagian dari acara haul Mbah Shodik Jago,
seorang tokoh yang dipercaya masyarakat sebagai keturunan dan menurunkan
ulama-ulama besar tanah Jawa.

Eyang buyutnya adalah Ki Ageng Tembayat, sedangkan silsilah ke bawahnya
akan sampai pada KH Muhammad Hadi Girikusumo.

Masyarakat meyakini Mbah Jago sebagai seorang aulia yang berjasa melakukan
syiar Islam di daerah itu pada masa lalu.

Sebutan Jago berasal dari nama dukuh tempat dia bermukim, Dukuh Jago.
Hal ini lazim dilakukan oleh masyarakat Jawa pada masa lalu.

Mengenai awal mula adaya acara haul ini, H Abdullah (68), seorang tokoh
masyarakat menuturkan, keberadaan makam Mbah jago merupakan petunjuk dari
gurunya, KH Achmad bin Abdul Haq, ulama dari Watucongol Magelang.

Di dekat makam Mbah Thohir dan Mbah Irsyad di Dukuh
Jago terdapat makam Mbah Shodik Jago.

Letaknya ditandai oleh tumbuhnya bunga wariban. Mendapat petunjuk tersebut,
bersama masyarakat, Abdullah kemudian membangun makam Mbah Jago.

Sejak saat itulah haul Mbah Jago mulai dilaksanakan. Semula pada
bulan Bakdamulud dilakukan secara kecil-kecilan. Baru pada tahun 2000 warga
bersepakat melaksanakan haul Mbah Jago pada hari Selasa Kliwon bulan Sura
dan dirayakan secara meriah.

Arwah Jama

Selepas shalat isya, masyarakat mulai berbondong-bondong memasuki
kompleks masjid yang di belakangnya terdapat makam Mbah Jago. Mereka sebagian
besar berasal dari Desa Wringinjajar dan desa-desa di sekitarnya.

Di tempat tersebut mereka berziarah bersama dengan membacakan doa. Sebagai
puncak acara, malam harinya dilaksanakan pengajian akbar oleh KH Baidlawi
dari Bangsri Jepara. Hadir dalam kesempatan tersebut pengasuh Pondok Pesantren
Girikusumo KH Munif Zuhri.


Di antaranya untuk Mbah Jago dan dua tokoh yang dimakamkan di dekatnya,
yaitu Mbah Thohir dan Mbah Irsyad.

Dalam acara tersebut, masyarakat juga dipersilakan menuliskan nama anggota
keluarga yang telah meninggal untuk ikut dibacakan (dijamak) sang kiai. 
sumber : sm Kamis, 11 Maret 2004

Senin, 15 Juli 2013

Tahlilan Menurut ‘Ulama NU (Nahdlatul ‘Ulama)

Tahlilan Menurut ‘Ulama NU (Nahdlatul ‘Ulama)

 Tahlilan adalah kegiatan yang telah mentradisi dikalangan muslimin yang ada di Indonesia terutama dalam lingkungan yang tersebar dakwah nahdliyin. Amalan-amalan yang ada dalam tahlilan merupakan amalan yang masyru’ disyariatkan, diantaranya adalah do’a kepada kaum Muslimin yang telah meninggal dunia. Allah Subhanahu wa Ta’ala Berfirman :

 ربنا اغفر لي ولوالدي وللمؤمنين يوم يقوم الحساب

 Ya Tuhan kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapaku dan orang-orang mu'min pada hari terjadinya hisab (hari kiamat).
 (QS. Ibrahim 14 : 41)

 رب اغفر لي ولوالدي ولمن دخل بيتي مؤمنا وللمؤمنين والمؤمنات ولا تزد الظالمين إلا تبارا

 Ya Tuhanku! Ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kebinasaan.
 (QS. Nuh 71 : 28)

 وَاسْتَغْفِرْ لِذَنبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ

 Dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mu'min, laki-laki dan perempuan.
 (QS. Muhammad 47 : 19)

 والذين جاءوا من بعدهم يقولون ربنا اغفر لنا ولإخواننا الذين سبقونا بالإيمان ولا تجعل في قلوبنا غلا للذين آمنوا ربنا إنك رءوف رحيم

 Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.
 (QS. al-Hasyr 59 ; 10)

 Begitu banyak ayat dan demikian juga dengan hadits Nabi yang menyatakan bahwa amala-amalan dalam tahlilan adalah disyariatkan. Ada sebuah hadist yang cukup menarik, hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari bahwasanya 'Aisyah radliyallah ‘anhaa- berkata : “Alangkah sakitnya kepalaku”, lalu Rasulullah berkata:

 " ذاكِ لوْ كَانَ وَأنَا حَيّ فأ سْتَغْفِر لكِ وأدْعُو لَكِ "

 Jika itu terjadi (engkau sakit dan meninggal) dan aku masih hidup maka aku mohon ampun dan berdoa untukmu.

 Frasa “aku berdo’a untukmu”, tentunya meliputi seluruh jenis do’a dan tujuannya yang baik sesuai dengan keumumannya. Jadi, sangatlah bijaksana dimana dalam tahlilan setelah pembacaan dzikir-dzikir, shalawat, al-Qur’an dan lain sebagainya, kemudian di tahlilan ditutup dengan do’a yang berisi permohonan ampunan untuk mayyit, beri kenikmatan kubur hingga berdo’a agar pahala yang telah dibaca disampaikan kepada mayyit. Semuanya telah terangkum dalam do’a diakhir penutup tahlilan. Sedangkan do’a bermanfaat bagi mayyit, tanpa ada ulama yang memperselisihkan.

 Dalam lingkungan nahdliyin perbedaan pendapat dalam masalah furu’ adalah hal yang biasa, bukan sarana berpecah belah. Termasuk diantaranya adalah seandainya memang benar-benar adanya berbeda pendapat dalam hal tahlilan. Telah diketahui sejak dahulu hingga masa kini bahwa tahlilan telah mendarah daging dalam lingkungan NU, artinya tidak ada pertentangan dalam hal tahlilan. Mereka telah mempraktekkannya mulai dari kalangan ‘Ulama, santri hingga masyarakat nahdliyin. Maka, jadilah ini sebagai “ijma’ Nahdlatul ‘Ulama”.

 Namun, bagaimana dengan kitab, tulisan –tulisan yang berisi kemakruhan jamuan makan- dan ini banyak beredar di dunia maya (internet) yang disebarkan oleh pengingkar tahlilan. Dalam menyikapi hal ini adalah :

 Kalangan nahdliyin sejak dahulu telah mempraktekkan tahlilan maka praktek inilah yang dijadikan dasar bahwa nahdliyin menyetujui tahlilan (“maka jadilah ini semacam ijma’ nu). Jadi siapa nahdliyin yang tidak setuju tahlilan ? jawabnya tidak ada, kecuali mereka yang memang inkar.
 Kebanyakan yang dimakruhkan adalah terkait jamuan tertentu dengan alasan-alasan tertentu, namun tidak mutlak, dan bukan keseluruhan tahlilan,. Maka, itu tidak bisa dijadikan dalil untuk menolak tahlilan secara keseluruhan.

 Pernyataan (kesimpulan) dari para pengingkar tahlilan yang berdalih dengan sebagian tulisan-tulisan nahdliyin, tidak bisa di jadikan landasan sama sekali sebab nadliyin sejak dahulu sudah mempraktekkan tahlilan berdasarkan kitab-kitab yang menjadi tuntunan mereka, oleh karenanya itu bertentangan dengan praktek dan pernyataan ulama-ulama nadhliyin lainnya.

 Oleh Syaikhuna Al-Mukarom KH. Sahal Mahfud, ulama asal Kajen, Pati, Jawa Tengah, yang kini menjabat Rais Aam PBNU, berpendapat bahwa acara tahlilan yang sudah mentradisi hendaknya terus dilestarikan sebagai salah satu budaya yang bernilai islami dalam rangka melaksanakan ibadah sosial sekaligus meningkatkan dzikir kepada Allah.

 Maka, yang dimungkinkan adalah para pengingkar itu –yang pada dasarnya memang membenci tahlilan- sebenarnya telah keliru menyimpulkan tulisan-tulisan dari kalangan nahdliyin baik hasil muktamar hingga buku-buku mereka. Dan kesimpulan mereka tidak perlu di hiraukan sama sekali.

 واللــــه أعلـم بالصـــــــــــــواب